Kamis, 03 April 2008

Krisis Energi Melanda Negeri yang Kaya


Krisis energi adalah kekurangan (peningkatan harga) dalam persedian sumber daya energi ke ekonomi. Krisis ini memiliki akibat pada ekonomi dengan banyak resesi disebabkan oleh krisis energi dalam beberapa bentuk. Terutama kenaikan biaya produksi listrik, yang menyebabkan naiknya biaya produksi. Bagi para konsumen, harga bahan bakar minyak (BBM) untuk mobildan kendaraan lainnya meningkat, menyebabkan kekurangan keyakinan dan pengeluaran konsumen.
Krisis energi yang bermula dari ketergantungan kita terhadap energi yang tak terbarukan seperti fosil. Apa jadinya jika suatu saat energy ini akan habis? dan bagaimana kita dapat mengatasinya? Menurut hasil penelitian, benua pertama yang kehabisan produksi minyak yaitu benua Eropa dan Amerika, disusul Asia dan Afrika (terakhir Timur Tengah). Walaupun secara pasti tidak diketahui kapan “peak oil” secara Internasional ini akan terjadi, namun menurut prediksi beberapa peneliti fenomenan yang sangat ditakutkan ini akan terjadi secara global sekitar tahun 2010. Sebetulnya ”peak oil” di Amerika sudah terjadi sekitar tahun 1970-an dan merupakan masalah Nasional negara ini sampai sekarang dengan ketergantunganya terhadap pasokan luar negeri.
Saat ini dunia sangat bergantung kepada minyak bumi sebagai sumber energi. Namun, minyak bumi ini adalah sumber energi yang tak dapat diperbaharui. Sedikit yang membantah bahwa minyak bumi suatu saat akan habis dan manusia akan terpaksa beralih ke jenis energi lainnya. Yang menjadi masalah kini bukanlah apakah minyak akan habis, tetapi kapan minyak akan habis. Ini adalah yang kita sebut sebagai krisis minyak dunia.
Hal yang sama terjadi di Indonesia, dimana sumber energi yang tersedia tidak bisa menyaingi pesatnya kebutuhan energi yang terus meningkat. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan di negeri kita ini, yaitu Pemerintah dengan segala kerendahaan hatinya, dapat memberikan subsidi yang cukup besar sehingga rakyat tidak merasakan krisis tersebut diatas. Sebagai ilustrasi, kebutuhan minyak di Indonesia adalah 1.5 kali lebih besar daripada produksi minyak bumi, sehingga memaksa pemerintah untuk mengimpor minyak dari luar negeri dengan harga pasar dan dijual dengan harga subsidi. Pertanyaannya, sampai kapan pemerintah akan kuat mengangkat beban rakyat yang begitu besar? Kepanikan ini mulai terlihat dengan adanya wacana-wacana untuk membatasi penggunaan bahan bakar bersubsidi. Menurut point of view saya, ini bukan merupakan solusi dari permasalahan awal kita. Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi adalah salah satu cara untuk memperlambat kolapsnya negara kita sehingga di kemudian hari Pemerintah harus memikirkan kembali cara lain untuk menyikapi krisis energi ini.
Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil dan tak terbaharukan, seperti minyak bumi (52 persen), gas (28 persen), dan batubara (15 persen) sungguh luar biasa. Dalam situasi krisis energi seperti sekarang, dalam jangka panjang kondisi ini cukup megkawatirkan. Maka tepatlah tekad pemerintah untuk mencari dan mengembangkan energi alternatif seperti Bahan Bakar Nabati (BBN).
Sebuah pradoks terjadi, krisis bahan bakar minyak muncul, komando penghematan sudah dicanangkan, tetapi gairah masyarakat berbelanja otomotif melonjak. Hal ini dapat terlihat pada meningkatnya penjualan sepeda motor di seluruh Indonesia. Penjualan mobil pun untuk segala jenis dan merk, pada akhir tahun ini diharapkan mencapai penjualan 500.000 unit. Ini pula yang menyebabkan banyak kota di Indonesia, sudah layak disebut "kota sepeda motor". Di Jakarta, mobil mewah yang paling mahal, justru paling banyak peminatnya. Pameran otomotif penuh sesak dan transaksinya seperti penjualan pisang goreng. Daya beli masyarakat memang makin membaik, tetapi hanya yang berhubungan dengan gaya hidup dan konsumerisme. Uang dan dana masyarakat telah dihabiskan "jor-joran" untuk hal yang konsumtif, bukan dengan menabung dan untuk investasi hal yang produktif.
Terlepas alasan apa di balik terjadinya defisit energi listrik hingga 1.000 megawatt (MW), ini membuktikan bahwa pemerintah gagal menjamin ketersediaan pasokan energi. Energi listrik sebagai salah satu faktor vital dalam kehidupan masyarakat dan bisnis seharusnya dikelola dengan manajemen yang andal. Pemadaman listrik secara bergiliran dan imbauan hemat energi bukan sebuah solusi. Sementara di sisi lain, pelan tapi pasti, masyarakat konsumen dibebani dengan makin mahalnya tarif listrik.
Keandalan pasokan energi listrik Jawa-Bali kembali terganggu akibat dua hal.Pertama, cuaca buruk mengganggu kelancaran distribusi batubara sebagai bahanbakar pembangkit. Kedua, lonjakan harga minyak mentah dunia hingga USD 100,10 per barel menambah beban biaya pembelian bahan bakar minyak. Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro mengatakan, jika cuaca terus memburuk, bukan tidak mungkin defisitenergi bisa mencapai 1.500 MW. Apalagi bila pola konsumsi listrik masyarakat-terutama pada beban puncak-seperti semula. Pemerintah pun meminta masyarakat mengurangi pemakaian listrik pada beban puncak pukul 18.00-22.00.
Tarif mahal tidak selalu pararel dengan sempurnanya layanan. Krisis energi listrik yang terjadi kali kesekian membuktikan bahwa tata kelola kelistrikan di Indonesia amburadul. Pemerintah gagal menerbitkan sebuah regulasi yang bisa mengantisipasi terjadinya krisis energi, sedangkan PLN gagal menjamin kelancaran pasokan energi kepada pelanggan akibat tidak adanya efisiensi. Krisis energi tidak hanya merugikan dan mengganggu kehidupan sosial masyarakat. Ini juga menurunkan daya saing bisnis yang ujungnya bisa menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah terobosan memang sedang disiapkan pemerintah untuk meningkatkan pasokan energi listrik. Salah satunya crash program listrik batubara 10.000 MW. Sayangnya, implementasi program itu berjalan sangat lambat. Padahal, jika crash program tersebut terealisasi, kebergantungan pembangkit pada bahan bakar minyak bisa ditekan. Lambatnya realisasi crash program kelistrikan itu juga menjadi cermin buruknya koordinasi antardepartemen pemerintah. Ketika Kementerian ESDM merancang sebuah kebijakan strategis, di sisi lain Departemen Keuangan tidak siap dengan pola pembiayaan untuk mendukung hal tersebut.
Krisis energi listrik tidak bisa dipandang sebelah mata. Konsumsi listrik tidak mungkin turun seiring peningkatan skala ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.Namun, jika kebijakan di bidang kelistrikan tidak diubah dan tidak ada penataantata kelola kelistrikan, krisis energi yang terjadi di masa mendatang bisa lebih parah.
Berkait langsung ataupun tidak, pemerintah dan PLN juga perlu meningkatkan transparansi dalam setiap proses pengambilan kebijakan di bidang kelistrikan. Misalnya, pelaksanaan tender untuk sebuah pembangkit, mekanimse dan prosedurnya harus transparan. Tidak bisa dengan alasan mengejar tenggat, tender listrik main tunjuk langsung. Sebab, transparansi akan menciptakan efisiensi. Dan, efisiensi akan menopang sebuah tata kelola kebijakan energi yang efektif dan tepat sasaran.
Setidaknya apabila Indonesia mendapatkan dana bantuan untuk reforestasi hutan Indonesia dari konferensi tersebut bisa menjadi investasi paru-paru dunia. Ataupun setelah konfrensi tersebut justru Indonesia menjadi penyumbang terbesar gas rumah kaca akibat proyek pembangkit energi listrik. Solusi selain pelaksanaan peraturan maupun pengawasan mengenai lingkungan oleh aparat pemerintah pusat dan daerah, LSM lingkungan adalah peran aktif masyarakat yang tinggal di daerah sekitar pembangkit merupakan hal yang patut dilaksanakan. Akhir kata yang ingin saya tekankan mengenai climate change ini adalah faktor manusia meruapakan kunci untuk pencegahan maupun semakin parahnya climate change ini. Namun khusus untuk sumber batubara kita, perlu kita ingat bahwa selama ini batubara kita lebih banyak di ekspor, jika sekarang PLN akan lebih menggunakan batubara ini jangan disikapi miring, karena sementara ini adalah solusi sementara yang cepat untuk keluar jeratan kekurangan pasokan energi listrik nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar